BANDUNG - Serangga bagi manusia umumnya merupakan organisme yang
merugikan. Keberadaan serangga dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan
manusia. Serangga pun disebut hama yang harus dibasmi.
Pakar serangga (entomologist) Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor
Intan Ahmad mengatakan, hama adalah penamaan yang diberikan manusia dan
tidak mempunyai kebenaran ekologis. Penamaan hama pada serangga dipicu
karena sudah lama terjadi kompetisi antara manusia dan serangga.
“Karena ada kompetisi dengan manusia, jadi serangga dinyatakan sebagai
hama oleh manusia,” kata Intan Ahmad, dalam Pidato Ilmiah Guru Besar
ITB, di Bandung, baru-baru ini.
Padahal, sambungnya, para entomologist sepakat dari sekira satu juta
spesies serangga yang sudah dikenal, hanya sekira dua persen yang masuk
kategori hama. Serangga dianggap sebagai hama bila keberadaannya
mengganggu manusia, dari berbagai segi, mulai ekonomi, kesehatan,
estetika, kenyamanan, dan sebagainya.
Satu atau sekelompok serangga dapat dikatakan hama pada keadaan dan
waktu tertentu; tetapi pada keadaan dan waktu yang lain dapat dikatakan
sebagai serangga berguna. Contohnya rayap berguna bila melakukan fungsi
ekologisnya sebagai pengurai selulosa di hutan. Tetapi rayap jadi amat
merugikan karena merusak struktur bangunan pemukiman manusia yang
terbuat dari kayu.
Namun, Intan tidak menemukan data pasti kapan manusia mulai
berkompetisi dengan serangga. Tetapi yang jelas, manusia dan serangga
berkompetisi karena didorong misi yang sama, yaitu untuk survive and
reproduce. Meski begitu, kompetisi manusia versus serangga dapat
dilihat dari sudut pandang evolusi.
Serangga diperkirakan telah muncul kurang lebih 400 juta tahun lalu.
Serangga merupakan salah satu produk evolusi biosfera yang sudah
berlangsung sejak lebih dari 4,6 miliar tahun lalu. Sebagai
perbandingan, mamalia muncul pada 230 juta tahun lalu. Saat itulah,
awalnya serangga hanya berinteraksi dengan tumbuhan, lalu berinteraksi
dengan hewan dan mampu memanfaatkan sumber daya hewan.
Lalu sekira 1,8 juta tahun lalu, muncul manusia modern. Sejak itulah
serangga mulai berinteraksi dengan manusia, bahkan berkompetisi.
“Jadi, dalam kurun waktu ratusan juta tahun, serangga tidak
berinteraksi dengan manusia. Karena manusia modern seperti kita baru
muncul di permukaan bumi sekira 1,8 juta tahun lalu,” tambah Guru Besar
yang juga Ketua Senat Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB itu.
Sebagai organisme yang lebih dulu hidup daripada manusia, serangga
dilengkapi dengan kemampuan adaptasinya yang tinggi, serta ketahanannya
terhadap berbagai tekanan lingkungan untuk survive. Hal itu membuat
serangga dengan mudah memasuki semua sistem kehidupan, termasuk
kehidupan manusia.
“Tetapi perspektif evolusi, manusialah yang memasuki dunia serangga karena muncul di bumi ini lebih akhir,” ungkapnya.
Ketua Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung ini
mengungkapkan, serangga ada di mana-mana. Dari semua hewan yang ada di
bumi ini, lebih dari 60 persennya adalah kelompok serangga atau hewan
berkaki enam.
Sampai saat ini lebih dari sejuta spesies serangga sudah dikenal. Para
peneliti memperkirakan, jumlah spesies serangga berkisar antara 5
hingga 10 juta. Sebagai organisme yang paling banyak di bumi, serangga
bisa ditemukan di mana saja, bahkan di Antartika, mata air panas di
Amerika, dalam berbagai sumur minyak, hingga di dalam usus kuda. “Satu
tempat yang tidak ditemukan adanya serangga adalah di dalam air laut,”
katanya.
Mengingat jumlahnya yang banyak dan ada di mana-mana, serangga
sebenarnya berperan penting bagi ekosistem di bumi ini termasuk bagi
manusia. Misalnya, serangga berperan terhadap penyuburan tanah, siklus
nutrisi, propagasi tanaman, polinasi dan penyebaran tanaman, termasuk
menjaga struktur komunitas hewan melalui rantai dan jaring makanan.
Keberadaan satu spesies serangga berdampak terhadap keberadaan dan
kompleksitas organisme lainnya. Bahkan beberapa serangga dinyatakan
sebagai “keystone species”, misalnya peran rayap sebagai dekomposer,
ataupun serangga yang hidup dalam ekosiste akuatik yang berperan dalam
siklus nutrisi untuk kehidupan organisme di dalam air.
Contohnya, sebut Intan, bila jentik nyamuk tidak ditemukan di dalam
suatu ekosistem perairan, ratusan ikan harus mengubah cara makan mereka
agar dapat tetap bertahan hidup. Sedangkan prilaku makan ikan telah
tercetak secara genetis, sehingga hilangnya jentik nyamuk akan
mengakibatkan matinya ikan. Maka hilangnya jentik nyamuk mengganggu
jaring dan rantai makanan.
Serangga adalah organisme yang membentuk penyerbukan bagi hampir 80
persen tumbuhan berbunga yang ada di bumi. Selanjutnya, tumbuhan
tersebut akan dimakan hewan yang ujung-ujungnya hewan itu dimakan
manusia. “Bagi manusia, sebagian makanan yang kita makan sekira 50
persennya tergantung kepada serangga. Ini yang tanpa kita sadari,”
ujarnya.
Sehingga, tegas Intan, tantangan ilmuwan adalah bagaimana menjelaskan
peran utama serangga dalam ekosistem. “Juga penting dijelaskan bahwa
keberadaan serangga merupakan kepentingan kita juga,” ujarnya.
(dgs)